Minggu, 10 Januari 2010

Pelangi Sesudah Badai


Semasa anak -anak,menyeberangi sungai besar yang sedang meluap karena banjir tidak membuatku takut,begitu pula dengan mendaki gunung yang tinggi. Satu - satunya yang paling kutakuti adalah hujan badai yang disertai angin kencang.Jika cuaca sudah mulai mendung dan awan hitam terlihat menggelantung di kaki langit,hatiku mulai gelisah.Apalagi jika aku mulai melihat kilat,mendengar bunyi guntur,dan mulai merasakan hembusan angin kencang disertai butiran -butiran air yang menunjukkan bahwa hujan mulai turun. Di saat - saat seperti itu aku akan berjalan mondar - mandir di dalam rumah sambil menaikkan doa agar tidak terjadi angin kencang. Aku takut mendengar bunyi gemuruh angin dan melihat pohon -pohon yang tinggi meliuk - liuk karena tiupan angin kencang. Kondisi seperti ini selalu menjadi ancaman yang menakutkan bagiku.Seandainya ada alat pendeteksi detak jantung di saat -saat seperti itu, orang akan tahu bahwa pada saat itu jantungku berdegup begitu kencang dan kuat. Entah mengapa di masa anak-anak dulu,hujan badai,angin kencang yang disertai petir dan guntur,selalu membuatku berpikir bahwa kiamat sedang datang. Tetapi jika badai itu sudah tenang,perlahan-lahan jiwaku yang yan goncang kembali normal. Yang membuatku bisa bernapas lega,jika melihat pelangi membentang di langit sesudah hujan turun. Munculnya pelangi sesudah badai seolah - olah berkata,"Tenanglah,badai telah berlalu dan semua baik - baik saja."
Di dalam kehidupan manusia,ada saat-saat di mana badai hidup datang.Badai bisa diartikan sebagai permasalahan dan kesulitan hidup yang membuat kita merasa tertekan dan takut.Badai hidup bisa datang dalam bentuk penyakit yang berat,kesulitan ekonomi,masalah rumah tangga,masalah pekerjaan,maupun masalah dalam pelayanan. Dalam menanggapai kondisi seperti ini,sebagian orng menjadi putus asa dan mengambil jalan pintas,tetapi sebagian lagi tetap memandang Tuhan dan menaruh seluruh harapannya kepada Tuhan. Golangan kedua yang termasuk dalam hitungan orang - orang yang menaruh harapannya kepada Tuhan sekalipun dihimpit dalam kesukaran,pada akhirnya merasakan kelegaan. Selama air bah yang menakutkan,Tuhan memelihara Nuh dan keluargaanya. Meskipun terapung-apung di atas air selama beberapa waktu lamanya,tetapi pada waktunya, air bah itu surut juga dan pelangi pun nampak. Kita tidak bisa menghindar dari badai kehidupan,tetapi kita bisa memilih untuk tetap setia dan percaya kepada Tuhan. Ada ungkapan yang mengatakan,"Betapapun gelap hari-hari kita dan betapapun sukarnya jalan yang kita lalui,tetapi bersama dengan Tuhan selalu ada pelangi menanti di depan."
Jika saat ini kita sedang diterpa badai hidup,janganlah takut. Teruskanlah arah hati kepada Tuhan karena Ia yang memelihara kita adalah setia. Ia selalu menuntun kita ketika melalui jan yang sukar,dan dengan tangan yang kuat Ia menggendong kiat

Senin, 07 Desember 2009

Sejarah Tzu Chi



Pendiri Tzu Chi, Master Cheng Yen dilahirkan pada tanggal 14 Mei 1937 di Chingsui, Taiwan bagian tengah. Wafatnya sang ayah di tahun 1960 menjadikan beliau memahami bahwa hidup ini hanyalah sementara dan selalu berubah. Sejak saat itu beliau mulai mempelajari agama Buddha secara lebih serius sebelum akhirnya menjalani hidup sebagai bhiksuni pada tahun 1964.

Suatu hari di tahun 1966, Master Cheng Yen bersama beberapa pengikutnya datang ke suatu balai pengobatan di Fenglin untuk mengunjungi salah seorang umat yang menjalani operasi akibat pendarahan lambung. Ketika keluar dari kamar pasien, beliau melihat bercak darah di atas lantai tetapi tidak tampak adanya pasien. Dari informasi yang didapat diketahui bahwa darah tersebut milik seorang wanita penduduk asli asal Gunung Fengbin yang mengalami keguguran. Karena tidak mampu membayar NT$ 8.000 (sekitar Rp 2,4 juta), wanita tersebut tidak bisa berobat dan terpaksa harus dibawa pulang.

CATATAN: Peristiwa bercak darah yang menimpa wanita pribumi bernama Chen Qiu Yin yang dikarenakan tidak mampu membayar NT$ 8,000 (Delapan ribu dollar) lantas tidak dapat berobat, apakah NT$ 8,000 itu adalah biaya pengobatan, uang jaminan atau uang muka? Setelah peristiwa itu, keterangan yang dikumpulkan dari beberapa pihak tidak seragam, berdasarkan salah seorang anggota keluarganya bernama Chen Wen Qian yang mengantar Chen Qiu Yin berobat pada saat itu pernah menuturkan secara terbuka kepada umum bahwa uang yang dimaksud itu adalah uang jaminan, kabar yang diperoleh Master juga sama yaitu uang jaminan, lagipula Li Man Mei, orang yang langsung berbicara dengan pasien dan pribumi lainnya di tempat peristiwa pada waktu itu (di tahun itu) telah beberapa kali menyelidiki dan mengemukakan hal serupa yaitu uang jaminan, namun pernah juga sekali dia hanya menyebutkan NT$ 8,000 dan tidak menyinggung uang jaminan. Dalam putusan kasus perdata, disimpulkan Li Man Mei menerangkan kepada Master bahwa karena pasien tidak mempunyai uang sebanyak NT$ 8,000 sehingga pergi meninggalkan Rumah Sakit merupakan suatu kenyataan, juga mengakui bukti bercak darah memang ada keberadaannya. Kasus ini diakhiri atas pilihan Tzu Chi untuk tidak mengajukan pengaduan naik banding.

Mendengar hal ini, perasaan Master Cheng Yen sangat terguncang. Seketika itu beliau memutuskan hendak berusaha mengumpulkan dana amal untuk menolong orang dan menyumbangkan semua kemampuan yang ada pada dirinya untuk menolong orang yang menderita sakit dan kemiskinan di Taiwan bagian timur.

Karena ada jalinan jodoh, di saat itu kebetulan sekali tiga orang suster Katolik dari Sekolah Menengah Hualien datang berkunjung untuk menemui Master Cheng Yen. Suster bertanya, "Agama Katolik kami telah membangun rumah sakit, mendirikan sekolah, dan mengelola panti jompo untuk membagi kasih sayang kepada semua umat manusia, walaupun Buddha juga menyebut menolong dunia dengan welas asih, tetapi mohon tanya, agama Buddha mempersembahkan apa untuk masyarakat?" Kata-kata ini sangat menyentuh hati Master Cheng Yen. Sebenarnya waktu itu umat Buddha juga menjalankan kebajikan dan beramal, namun tanpa mementingkan namanya. Dari situ membuktikan bahwa semua umat Buddha memiliki rasa cinta kasih yang dalam, hanya saja terpencar dan kurang koordinasi serta kurang terkelola. Master Cheng Yen bertekad untuk menghimpun potensi ini dengan diawali dari mengulurkan tangan mendahulukan bantuan kemanusiaan.

Keterangan : Jauh di awal tahun 1970, sewaktu anggota komite Tzu Chi mengunjungi kaum fakir miskin di Fenglin, kendaraan yang mereka gunakan mengalami masalah, dengan spontan menggelorakan semangat [Bersatu-hati; Harmonis; Saling menyayangi; Bergotong-royong] untuk menegakkan teladan Bodhisattva dunia, sehingga bisa menjalankan apa yang sulit dilaksanakan bagi orang awam dan bisa sabar atas segala sesuatu yang sulit bagi orang awam.

Cikal Bakal Tzu Chi Dimulai dari Celengan Bambu
Kegiatan kemanusiaan Tzu Chi untuk kaum fakir miskin diawali dari 6 ibu rumah tangga yang setiap hari, masing-masing individu, merajut sepasang sepatu bayi. Di samping itu, setiap anggota diberi sebuah celengan bambu oleh Master Cheng Yen, agar para ibu rumah tangga setiap pagi sebelum pergi berbelanja ke pasar, menghemat dan menabung 50 sen ke dalam celengan bambu. Dari 30 anggota bisa terkumpul 450 dolar setiap bulan, ditambah hasil pembuatan sepatu bayi 720 dolar, maka setiap bulan bisa terkumpul sebanyak 1.170 dolar sebagai dana bantuan untuk kaum fakir miskin.

Kabar ini dengan cepat tersebar luas ke berbagai tempat di Hualien, dan orang yang ingin turut bergabung semakin banyak. Pada tanggal 14 Mei 1966, Yayasan Kemanusiaan Buddha Tzu Chi secara resmi terbentuk.

Pada awal masa pembentukan Yayasan Kemanusiaan Buddha Tzu Chi, Master Cheng Yen bersama para pengikut mengambil tempat sempit yang tidak lebih dari 20 m2 di Vihara Pu Ming, sambil berupaya menghasilkan produk untuk mendukung kehidupan, sambil mengurus jalannya organisasi. Pada musim gugur tahun 1967, ibunda Master Cheng Yen membelikannya sebidang tanah yang sekarang dimanfaatkan untuk bangunan Griya Perenungan. Walaupun demikian, Master Cheng Yen beserta para pengikut masih tetap mempertahankan prinsip hidup mandiri. Biaya perluasan seluruh proyek Griya Perenungan, selain mengandalkan pinjaman uang dari bank atas dasar hipotik hak kepemilikan tanah tersebut, juga dari hasil usaha kerajinan tangan. Sampai kini pun, Master Cheng Yen dan para pengikutnya tetap hidup mandiri dengan bercocok tanam ataupun menjalankan industri rumah tangga. Mereka tidak mau menerima sumbangan.